Bertemu DPR, Garuda Indonesia Minta Tarif Batas Atas Tiket Pesawat Direvisi

Tia Dwitiani Komalasari
22 Mei 2025, 15:48
Dirut Garuda Indonesia Wamildan Tsani Panjaitan (kiri) bersama Dirut InJourney Maya Watono (kanan) menyimak pertanyaan awak media pada konferensi pers terkait kesiapan jelang Natal dan Tahun Baru di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (6/12/2024). Dalam kete
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.
Dirut Garuda Indonesia Wamildan Tsani Panjaitan (kiri) bersama Dirut InJourney Maya Watono (kanan) menyimak pertanyaan awak media pada konferensi pers terkait kesiapan jelang Natal dan Tahun Baru di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (6/12/2024). Dalam keterangannya InJourney melakukan penambahan personel dan mengoperasikan 24 jam pada 37 bandara yang dikelola, sedangkan Garuda Indonesia menyediakan 58 armada dan Citilink sebanyak 35 armada pesawat untuk Natal dan Tahun Baru 2024/2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

PT Garuda Indonesia mengusulkan agar tarif batas atas (TBA) tiket pesawat direvisi. Hal itu diungkapkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi V DPR RI yang membidangi infrastruktur dan perhubungan, dengan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub di Jakarta, Kamis, (22/5).

Wamildan mengatakan, besaran revisi TBA tersebut masih dalam tahap finalisasi dengan Ditjen Perhubungan Udara.

“Untuk perhitungan tarif yang sebelumnya hanya berdasarkan jarak, namun sudah disepakati bahwa perhitungannya akan memperhitungkan juga block hour atau lamanya penerbangan,” ujar Wamildan.

 Dia membeberkan setidaknya ada tiga tantangan utama yang dihadapi maskapai sehingga membuat harga tiket pesawat menjadi mahal. Pertama, sejak perumusan tarif batas atas (TBA) terakhir pada 2019, struktur biaya maskapai telah berubah secara signifikan utamanya peningkatan harga avtur dan beban maintanance atau pemeliharaan.

Kedua, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak 2019 turut memberikan dampak besar. Ketiga, margin keuntungan maskapai yang sangat ketat membuat mereka rentan terhadap penurunan load factor atau jumlah penumpang.

“Penurunan load factor atau jumlah penumpang 3-5 persen, ini sangat mempengaruhi margin profit dari maskapai,” kata Wamildan.

Sebagai gambaran, Wamildan menyebut sebuah penerbangan rute Cengkareng-Denpasar pada 2019 membutuhkan biaya Rp194 juta. Namun, saat ini, total biaya meningkat menjadi Rp269 juta atau naik 38 persen.

Ia juga menyoroti komponen biaya berbasis kurs dolar AS, seperti pemeliharaan, perbaikan dan operasi (MRO), avtur, sewa pesawat, dan biaya marketing serta service semakin memperparah tekanan margin maskapai.  Kenaikan nilai tukar valuta asing sebesar 14-15 persen sejak 2019 secara langsung berdampak pada pengeluaran maskapai.

“Dapat kita lihat data analisis dari International Air Transport Association (IATA) ini, dapat terlihat bahwa dari 2012 hingga 2019 seluruh ekosistem aviasi mendapatkan kenaikan margin atau profit kecuali airline. Ini terjadi bahkan sebelum terjadi pandemi,” ucapnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan