RUPTL PLN 2025-2034: Prabowo Ingkar Janji Hapus Energi Fosil Pada 2040


Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) Tata Mustaya menilai penerbitan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Persero 2025-2034 tidak sejalan dengan janji Presiden Prabowo Subianto yang berniat menghentikan penggunaan pembangkit fosil pada tahun 2040.
Tata mengatakan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan gas sebesar 16,6 gigawatt (GW) pada RUPTL 2025-2034 bertolak belakang dengan janji Prabowo pada perhelatan KTT G20 di Brazil.
Dia menilai penerapan RUPTL terbaru saat ini merupakan kemunduran dari pernyataan Presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia.
“Ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke energi terbarukan. Dengan RUPTL seperti ini, komitmen Indonesia keluar dari ketergantungan pembangkit energi fosil di tahun 2040 mustahil tercapai,” ujar Tata dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (27/5).
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyelesaikan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) untuk PT PLN (Persero) 2025-2034. Berdasarkan paparan ESDM, RUPTL terbaru menargetkan penambahan pembangkit listrik naik menjadi 69,5 gigawatt (GW) hingga 2034.
Dari jumlah tersebut, 76% kapasitas pembangkit berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan storage. Komposisi dalam RUPTL terbagi menjadi 42,6 GW untuk pembangkit EBT (61%) dan 10,3 GW untuk storage (15%), serta pembangkit fosil 16,6 GW (24%).
ESDM merincikan lebih lanjut, porsi pembangkit EBT ini terdiri atas beberapa jenis sumber energi. Mulai dari sumber energi surya 17,1 GW, air 11,7 GW, angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan nuklir 0,5 GW.
Porsi pembangkit storage 10,3 GW terdiri atas dua jenis sumber energi, yakni baterai 6 GW dan PLTA Pumped Storage 4,3 GW. Sementara untuk pembangkit bersumber energi fosil 16,6 GW juga terdiri atas dua jenis, yakni gas 10,3 GW dan batu bara 6,3 GW.
Tata mengatakan RUPTL tersebut perlu direvisi untuk menciptakan industri energi hijau sebagai ujung tombak dalam mendorong industri manufaktur Indonesia yang mengalami kemandekan sejak awal tahun 2000-an.
Dia melanjutkan Indonesia seharusnya fokus pada pengembangan industri rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
“Kebijakan yang konsisten merupakan kunci, salah satunya RUPTL yang tidak memasukkan lagi pembangkit berbahan bakar fosil baru,” ujarnya.
Lebih Banyak Energi Fosil
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan RUPTL 2025-2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil baik batu bara dan gas.
“Langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia,” ujar Bhima.
Bhima menjelaskan kondisi tersebut akan membuat investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi.
Dia mencontohkan, seperti terjadi pada pihak yang berencana membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal.
“Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal,” kata Bhima.
Selain itu, dia mengatakan RUPTL terbaru juga berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan dalam beberapa tahun ke depan.
“Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil,” jelasnya.
Di sisi lain, Policy Strategist CERAH Sartika Nur Shalati mengatakan investasi ke pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor. Pasalnya, pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang memiliki umur teknis 25-30 tahun dan akan diikuti investasi pembangunan pipa gas dan terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang memiliki kontrak pasokan gas jangka panjang, peningkatan impor gas, dan subsidi pemerintah melalui harga gas bumi tertentu (HGBT).
“Ketika proyek infrastruktur gas sudah dibangun dan modal besar sudah tertanam (sunk cost), sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutupnya sebelum akhir umur teknisnya, kecuali dengan kompensasi besar,” kata Sartika.
Dia menilai penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik bukan merupakan langkah yang tepat.
Pasalnya, jika PLTU terus ditambah, maka pemerintah daerah, terutama yang selama ini ekonominya bergantung pada batu bara semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak.
“Menambah PLTU dalam RUPTL hari ini, sama seperti menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Di saat kita harus keluar dari dominasi batu bara, RUPTL justru memberi ruang baru. Padahal tanpa tambahan sekalipun dalam grid PLN, PLTU tetap tumbuh diam-diam lewat captive power,” ungkapnya.
Selain itu, kondisi tersebut akan mempengaruhi kepada seluruh ekosistem yang akan membentuk ketergantungan struktural dan ekonomi yang sulit diakhiri.
“Ini menciptakan insentif untuk mempertahankan operasi fosil lebih lama dari yang ideal dalam skenario iklim. Jika itu terjadi, lagi-lagi, kita hanya akan mengulang apa yang hari ini kita hadapi di sektor batu bara terkait sulitnya mengakhiri ketergantungan pada ekosistem PLTU yang sudah terlanjur dibangun,” sebutnya.