Konsekuensi Tersembunyi di Balik Upaya Gencar Transisi Energi Terbarukan


Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 yang baru dirilis merupakan momen penting dalam pengembangan transisi energi di Indonesia. Rencana tersebut, yang dikeluarkan PLN dan disahkan Kementerian ESDM, menguraikan target penambahan kapasitas pembangkit Listrik sebesar 69,5 gigawatt (GW) pada 2034. Jumlah ini meningkat hampir 95% dari kapasitas pembangkit listrik yang beroperasi di Indonesia pada akhir 2023.
Dari jumlah tersebut, 42,6 GW (sekitar 61%) diklasifikasikan sebagai “energi terbarukan.” Sumbangsih terbesarnya berasal dari tenaga surya, hidro, dan angin. Target penambahan kapasitas energi terbarukan yang signifikan ini sejalan dengan tujuan iklim dan visi pembangunan Indonesia, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan target NDC. Namun, seiring upaya Indonesia mempercepat ambisi energi terbarukannya, ada satu isu penting yang perlu diperhatikan, yaitu tata kelola lahan.
Teknologi energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin, membutuhkan lahan yang luas dan lokasi yang spesifik. Pembangkit listrik tenaga surya biasanya menghasilkan sekitar 5,7 watt per meter persegi (W/m²), sedangkan pembangkit listrik tenaga angin lebih kecil lagi yaitu sekitar 0,9 W/m². Sebaliknya, pembangkit listrik tenaga nuklir dapat menghasilkan lebih dari 100 W/m².
Hal ini menandakan bahwa untuk mencapai output energi yang sama, PLTS dan PLTB membutuhkan lebih banyak ruang lahan. Hal tersebut berimplikasi terhadap penggunaan lahan di beberapa negara berkembang. Apalagi sebagian besar potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan berada di wilayah perdesaan atau wilayah adat.
Di Brasil, khususnya di wilayah pesisir Ceara, banyak penduduk yang tinggal di lahan dalam proyek PLTB. Mereka tidak memiliki sertifikat resmi sehingga rentan mengalami konflik saat proses akuisisi lahan. Situasi ini diperparah dengan proses perizinan lingkungan, terutama melalui RAS (Relatório Ambiental Simplificado), yang sering kali mengabaikan atau salah menggambarkan keberadaan masyarakat tradisional. RAS dinilai kurang teliti dalam menyusun informasi dasar proyek PLTB, sehingga gagal menilai cakupan dampak sosial-lingkungan terhadap masyarakat tradisional yang tidak terwakili dalam isi proposal proyek.
Contoh lain di India, khususnya di Gujarat, di mana sebuah proyek PLTS skala besar dibangun di atas lahan yang oleh pemerintah dicap sebagai “lahan kosong.” Namun, lahan tersebut secara tradisional digunakan oleh penggembala Rabari dan petani kecil untuk penggembalaan dan pertanian subsisten.
Beberapa penduduk menceritakan, mereka ditipu untuk menandatangani dokumen yang tidak dapat mereka baca. Mereka mendapat kesan bahwa dokumen tersebut akan melegitimasi penggunaan lahan mereka. Namun, ternyata dokumen tersebut justru menghilangkan klaim mereka terhadap lahan. Hilangnya akses terhadap lahan-lahan tersebut mengganggu mata pencaharian masyarakat, terutama yang tidak memiliki sertifikat resmi tetapi memiliki hak-hak adat yang sudah berlangsung lama.
Dalam konteks tata kelola lahan di Indonesia, prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) merupakan tantangan yang berpotensi terjadi dalam pelaksanaan proyek PLT energi terbarukan, terutama karena mekanisme domein verklaring. Domein Verklaring mengacu pada kontrol negara atas tanah yang kepemilikannya tidak dapat dibuktikan secara formal.
Perangkat hukum era kolonial Belanda ini memungkinkan negara untuk mengklaim tanah yang tidak terdaftar atau tidak memiliki sertifikat tanah secara resmi. Mekanisme ini sering kali mengabaikan sistem tata kelola masyarakat adat, di mana banyak wilayah adat yang masih belum diakui secara resmi oleh negara. Oleh karenanya, alih-alih memberdayakan masyarakat, pendekatan ini justru memicu konflik.
Perlawanan terhadap proyek energi terbarukan sering kali bukan berasal dari penolakan terhadap energi bersih, tetapi dari kurangnya partisipasi berarti dan perlindungan hukum.
Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip transisi energi berkeadilan, khususnya pilar keadilan prosedural yang menekankan pada pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan akuntabel. Jenkins dkk menyoroti empat kriteria utama keadilan prosedural: partisipasi yang berarti, keterbukaan informasi, mekanisme pengaduan, dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Agar benar-benar berkelanjutan, energi terbarukan harus lebih dari sekadar mengurangi emisi. Energi terbarukan juga harus dinilai dari seberapa baik energi tersebut menghormati hak-hak masyarakat, melindungi ruang masyarakat, dan melibatkan masyarakat yang terkena dampak sebagai mitra yang setara dalam inisiatif transisi energi.
Tanpa menyertakan keadilan sosial dan partisipasi yang bermakna, energi terbarukan berisiko menjadi “hijau” secara teknis, tetapi “kotor” dalam hal dampak sosial. Oleh karenanya, beberapa hal perlu dilakukan agar proyek-proyek energi terbarukan dapat sejalan dengan prinsip berkeadilan.
Pertama, kompensasi untuk akuisisi lahan proyek PLT energi terbarukan harus diprioritaskan, terutama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak. Kompensasi tidak boleh dibatasi pada nilai moneter, yang sering kali tidak mencerminkan nilai budaya, ekologi, dan mata pencaharian dari lahan tersebut. Sebaliknya, kompensasi harus mempertimbangkan fungsi sosial lahan secara menyeluruh dan menawarkan alternatif yang adil dan setara.
Kedua, prosedur yang transparan dan akuntabel sangat penting. Hal ini mencakup akses publik terhadap informasi proyek, kejelasan status lahan dan perizinan, serta pengawasan independen selama proses perencanaan dan pelaksanaan. Analisis dampak lingkungan dan sosial harus dilakukan secara ketat dan inklusif, bukan hanya sebagai mekanisme untuk menggugurkan kewajiban dalam pengembangan proyek energi terbarukan.
Terakhir, partisipasi yang bermakna dari masyarakat dalam proyek energi terbarukan. Hal ini melibatkan penegakan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) yang memastikan bahwa suara-suara masyarakat setempat dan masyarakat adat didengar tidak hanya pada tahap konsultasi, tetapi juga di seluruh siklus proyek. Partisipasi harus berdasarkan informasi, sesuai dengan budaya, dan bebas dari paksaan atau manipulasi.
Jika ingin mewujudkan transisi energi yang benar-benar adil, Indonesia harus memandang masyarakat bukan sebagai penghambat pembangunan, melainkan sebagai mitra utama dalam solusi iklim. Dengan merangkul pendekatan berbasis hak yang inklusif, Indonesia dapat memastikan bahwa masa depan energi terbarukannya berkelanjutan secara lingkungan dan adil secara sosial.
Untuk mengoperasionalkan visi ini, Indonesia dapat memulai dengan mengadopsi dan melokalisasi Kerangka Kerja Transisi Energi Berkeadilan yang dikembangkan ASEAN Centre for Energy (ACE). Kerangka kerja ini dapat memandu Indonesia dengan sejumlah perangkat penilaian kebijakan untuk memastikan bahwa semua inisiatif transisi energi mengimplementasikan distribusi biaya dan manfaat yang adil dari proyek energi terbarukan; pengambilan keputusan yang transparan dan partisipatif; dan pengakuan atas beragam identitas, hak, dan kerentanan dari kelompok rentan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.