Strategi Menangkis Inflasi Medis yang Terus Menanjak

Wawan Mulyawan
Oleh Wawan Mulyawan
13 Juni 2025, 07:05
Wawan Mulyawan
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Inflasi medis di Indonesia bukan sekadar tren statistik—ia telah menjadi krisis senyap yang perlahan menggerus daya beli masyarakat. Ironisnya, ruang publik justru lebih banyak diwarnai oleh pernyataan simbolik pejabatnya, alih-alih solusi konkret.

Padahal, di balik kegaduhan itu, inflasi medis terus merayap naik dan semakin membebani rakyat. Bagi keluarga kelas pekerja, kenaikan biaya kesehatan berarti makin sempitnya akses terhadap pengobatan yang bermutu. Layanan publik yang terstandar tidak lagi cukup untuk menjamin rasa aman saat sakit.

Laporan Mercer Marsh Benefits memperkirakan inflasi biaya medis di Indonesia dapat mencapai 19 persen pada 2025—salah satu yang tertinggi di Asia. Ini berarti, biaya layanan kesehatan bisa naik hampir seperlima setiap tahun. Sebagai ilustrasi, operasi bedah saraf seharga Rp100 juta hari ini, tahun depan bisa menjadi Rp119 juta—tanpa jaminan mutu yang lebih baik.

Kondisi ini perlahan mengikis kemampuan masyarakat untuk memperoleh layanan medis yang berkualitas. Namun hingga kini, kebijakan pemerintah belum sepenuhnya menjawab urgensi tersebut. Bahkan, biaya pengobatan di dalam negeri kerap kali lebih mahal dibanding negara tetangga Malaysia atau Thailand, sementara mutu pelayanannya belum tentu lebih unggul.

Masalah ini tentu tidak muncul begitu saja. Di balik angka inflasi medis, tampak kebijakan anggaran yang belum tepat sasaran, belanja infrastruktur yang tidak terhubung dengan sistem pembiayaan, serta praktik impor tanpa strategi substitusi nasional. Semua ini mencerminkan lemahnya tata kelola—di mana belanja besar tak disertai arah kebijakan yang jelas dan berkelanjutan.

Inflasi Medis dari Hulu: Belanja Infrastruktur, Alkes Impor, dan Harga Obat

Tahun 2025, anggaran kesehatan nasional mencapai Rp217 triliun, dengan lebih dari Rp129 triliun dikelola oleh Kementerian Kesehatan. Sayangnya, alokasi belanja ini masih didominasi oleh proyek pembangunan rumah sakit vertikal dan pengadaan alat kesehatan canggih. Proyek-proyek besar seperti RS Otak dan Jantung di Riau (Rp1,6 triliun), RS vertikal Papua (Rp900 miliar), serta RS Kemenkes di Surabaya dan Makassar (masing-masing Rp2 triliun) mendapat porsi besar anggaran, namun belum tentu menjawab kebutuhan sistemik.

Penguatan infrastruktur kesehatan memang penting, tetapi tanpa integrasi strategis dengan skema pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), belanja tersebut berisiko menjadi tidak efektif. Alat-alat medis canggih seperti CT scan, MRI, dan perangkat ICU yang dibeli dengan anggaran besar bisa saja menjadi tidak berguna jika tidak ditopang dengan kecukupan skema pembiayaan yang memadai. Lebih jauh lagi, sebagian besar perangkat ini masih diimpor, sementara Indonesia belum memiliki basis produksi nasional yang memadai.

Ketergantungan pada impor alat kesehatan kian terasa ketika pemerintah menggunakan pinjaman sebesar USD 4 miliar dari Bank Dunia untuk pengadaan alat kesehatan. Tanpa strategi substitusi impor atau langkah konkret memperkuat industri dalam negeri, belanja alkes semacam ini justru memperdalam ketergantungan struktural dan memperparah inflasi medis dalam jangka panjang.

Tak hanya alat kesehatan, sektor farmasi nasional juga masih menjadi penyumbang utama inflasi medis. Dominasi produk non-generik, masuknya terapi inovatif yang belum memiliki substitusi lokal, serta belum adanya regulasi harga yang memadai membuat biaya pengobatan sulit dikendalikan. Skema Formularium Nasional (Fornas) yang dijalankan dalam program JKN pun sering kali tidak dijalankan konsisten di lapangan, memperparah disparitas harga antarwilayah. Tanpa reformasi menyeluruh—mulai dari produksi bahan baku obat, pengembangan substitusi lokal, hingga transparansi distribusi—ekosistem farmasi Indonesia akan terus menyumbang beban tambahan terhadap inflasi medis.

Ketergantungan struktural terhadap impor, lemahnya ekosistem farmasi, serta arah belanja yang tidak berpijak pada kebutuhan sistem pembiayaan kolektif, semuanya memperparah inflasi medis. Tapi yang lebih mengkhawatirkan: semua ini dibiarkan terjadi dalam kerangka regulasi yang justru belum efektif mengendalikannya.

Tata Kelola Lemah, Inflasi Medis Lepas Kendali

Data BPJS Kesehatan per April 2025 menunjukkan bahwa klaim pengobatan telah menembus Rp60,18 triliun—naik hampir 5% dibanding bulan yang sama tahun sebelumnya. Salah satu pemicu lonjakan ini adalah kenaikan tarif rumah sakit pasca pemberlakuan Permenkes No. 3 Tahun 2023, yang justru tidak disertai mekanisme pengendalian biaya yang memadai, seperti audit medis berbasis hasil atau kendali mutu klinis yang independen.

Program JKN sejatinya dirancang untuk menekan biaya layanan melalui sistem tarif tetap dan pembiayaan kolektif. Namun kenyataan bahwa inflasi medis tetap melonjak menunjukkan kegagalan sistematis dalam pengendalian biaya—sebuah tanggung jawab yang seharusnya berada di tangan Kementerian Kesehatan.

Lebih dari satu dekade JKN berjalan, belum terlihat strategi berkelanjutan dari Kemenkes untuk mengatasi akar inflasi medis, baik melalui penataan tarif rumah sakit, pengendalian harga obat dan alat kesehatan, maupun reformasi dalam manajemen layanan.

Tanpa intervensi konkret, tekanan biaya yang terus meningkat akan mendorong BPJS Kesehatan mencari solusi fiskal jangka pendek, termasuk opsi kenaikan iuran. Risiko ini semakin besar mengingat kontribusi dari sektor informal stagnan, sementara belanja kesehatan terus membengkak. Jika tidak segera diantisipasi, masyarakatlah yang kembali akan menanggung beban, sementara akar persoalan tetap dibiarkan.

Pada 2023, klaim Jaminan Kesehatan Nasional untuk penyakit katastropik terus membengkak: jantung (Rp12,14 triliun), kanker (Rp4,5 triliun), dan stroke (Rp3,24 triliun). Jika tren inflasi medis sebesar 19 persen terus berlanjut, klaim untuk penyakit jantung saja diproyeksikan bisa menembus Rp14–15 triliun pada 2025. Lonjakan ini menjadi ancaman nyata terhadap keberlanjutan sistem pembiayaan kesehatan nasional.

Masalah lain yang memperparah situasi adalah ekspansi layanan rumah sakit yang tidak selaras dengan skema pembiayaan JKN. Banyak rumah sakit—khususnya RS vertikal pemerintah—menambah alat canggih atau membuka layanan spesialis baru, namun belum tentu bisa diklaim melalui JKN karena belum tercakup dalam perjanjian kerja sama (PKS) atau tidak mempertimbangkan kecukupan dana jaminan.

Akibatnya, muncul anomali kebijakan: negara mengucurkan anggaran besar untuk layanan berteknologi tinggi, tetapi tanpa sistem yang menjamin pemanfaatan optimal. Tanpa mekanisme telaah biaya-manfaat (cost-effectiveness review), risiko pemborosan, kapasitas menganggur, dan overutilisasi menjadi tak terhindarkan.

Di sisi lain, posisi Kementerian Kesehatan sebagai regulator sekaligus operator layanan menciptakan potensi konflik kepentingan. RS vertikal milik Kemenkes menjadi penerima manfaat dari kenaikan tarif JKN, sekaligus tunduk pada regulasi yang mereka tetapkan sendiri. Ketika kebijakan tarif diterapkan tanpa pengendalian biaya, beban klaim meningkat, tekanan fiskal membesar, dan keberlanjutan sistem terganggu.

Dari enam pilar Transformasi Kesehatan Indonesia yang dicanangkan sejak 2021, belum satu pun secara eksplisit menargetkan pengendalian inflasi medis. Tanpa kebijakan pembiayaan yang berkelanjutan dan sistem insentif yang tepat, transformasi hanya akan menghasilkan proyek-proyek megah tanpa dampak sistemik.

Ironisnya, langkah korektif justru datang dari sektor keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui SEOJK No. 7/2025 mewajibkan perusahaan asuransi memiliki dokter internal untuk melakukan analisis medis dan utilization review. Ini bentuk penguatan tata kelola yang seharusnya diadopsi pula oleh sektor kesehatan publik, namun hingga kini belum ada respons sepadan dari Kementerian Kesehatan.

Kurangnya kolaborasi antara otoritas kesehatan dan organisasi profesi telah melemahkan respons terhadap krisis pembiayaan. Padahal, pengendalian inflasi medis membutuhkan pendekatan lintas sektor dan pelibatan dokter sebagai mitra strategis. Dalam situasi ini, yang dibutuhkan bukan sekadar reformasi prosedural, melainkan kepemimpinan baru yang berpihak pada efisiensi, mutu layanan, dan keberlanjutan sistem.

Kepemimpinan Baru untuk Menjawab Krisis Inflasi Medis

Dalam situasi krisis pembiayaan kesehatan saat ini, dokter tidak bisa lagi hanya menjadi pelaku klinis. Mereka harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan strategis, pengendalian biaya, dan penjaga mutu layanan. Peran dokter dalam analisis medis, audit layanan, dan kepemimpinan regulasi akan sangat menentukan arah masa depan sistem kesehatan nasional yang lebih efisien, adil, dan berkelanjutan.

Dokter yang memahami pembiayaan dan tata kelola sistem akan mampu mendorong kebijakan yang tidak hanya berpihak secara klinis, tetapi juga strategis. Ini adalah momentum untuk menggeser paradigma lama: dari dokter sebagai pengguna sumber daya menjadi dokter sebagai penjaga keberlanjutan sistem.

Namun kapasitas profesional dokter hanya akan berdampak bila didukung oleh kebijakan sistemik yang konsisten dan progresif. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil lima langkah korektif berikut:

  1. Menetapkan regulasi tarif nasional dan kebijakan kendali biaya layanan kesehatan yang adaptif, berbasis efisiensi dan hasil klinis, termasuk pengendalian harga obat esensial, evaluasi belanja alat kesehatan, dan transparansi distribusi.
  2. Membangun ekosistem produksi dalam negeri untuk bahan baku obat dan alat kesehatan, memperkuat industri nasional serta memberikan insentif investasi substitusi impor, guna mengurangi ketergantungan struktural.
  3. Mengintegrasikan perencanaan belanja kesehatan dengan skema pembiayaan JKN, untuk mencegah belanja yang tidak berdampak pada layanan nyata, termasuk memastikan alat dan layanan baru hanya ditambahkan berdasarkan cost-effectiveness review.
  4. Memperkuat peran dokter dalam manajemen pembiayaan dan kebijakan kesehatan, melalui pelibatan dalam audit klinis independen, penilaian efektivitas intervensi medis, serta pengambilan keputusan strategis.
  5. Mereformasi struktur kelembagaan Kementerian Kesehatan, agar tidak terjadi tumpang tindih peran sebagai regulator dan operator layanan, serta memastikan kebijakan berpihak pada keberlanjutan fiskal dan kepentingan publik.

Langkah-langkah korektif tersebut bukan semata resep teknokratis, melainkan keharusan moral dalam membenahi sistem kesehatan yang kian menjauh dari prinsip keadilan dan keberlanjutan. Tanpa keberanian politik untuk memperbaiki tata kelola, semua rekomendasi akan menjadi wacana kosong belaka.

Transformasi kesehatan tidak bisa hanya diwujudkan lewat proyek fisik berskala besar. Tanpa pembenahan menyeluruh atas sistem pembiayaan, tarif, dan insentif, rakyat hanya akan menghadapi layanan yang mahal dan tidak merata. Sayangnya, diskursus kebijakan saat ini kerap melenceng dari inti masalah—membandingkan iuran JKN dengan gaji PNS atau menilai orang bergaji Rp5 juta lebih rendah kapasitasnya—alih-alih mendorong langkah transformasi sistemik yang dapat menekan biaya kesehatan secara berkelanjutan.

Mimpi besar Indonesia Emas 2045 bisa terwujud bila kesehatan rakyat dijadikan fondasi. Akses yang terjangkau, pelayanan yang bermutu, dan sistem fiskal negara yang sehat adalah syarat mutlak bagi pembangunan manusia Indonesia yang unggul sebagaimana dicita-citakan dalam Asta Cita Presiden Prabowo.

Masih ada waktu untuk mengoreksi arah. Kini saatnya hadir pemimpin yang mampu menyelamatkan sistem kesehatan—bukan lewat kata-kata, tetapi dengan kebijakan nyata yang berpihak pada rakyat.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Wawan Mulyawan
Wawan Mulyawan
Dokter spesialis bedah saraf, Ketua Perhimpunan Dokter Pembiayaan Jaminan Sosial dan Perasuransian Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...